PENGARUH KAPITALISME DALAM DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA


A. PENDAHULUAN
Menyaksikan seluruh fenomena pendidikan saat ini nampak bahwa dunia pendidikan masih dalam keadaan carut-marut. Karena tidak dilandaskan pada ideology dan konsep yang jelas namun lebih didominasi oleh keinginan masing-masing kelompok atau komponen yang berkepentingan sehingga hal ini ikut mempengaruhi sistem kependidikan, ditambah lagi oleh misi penjajahan jepang dalam usaha merebut negara indonesia dengan jalan melangsungkan eksistensi kebangsaan mereka di tanah air indonesia.
Pendidikan sebagai sarana membentuk karakter bangsa sudah barang tentu menjadi ruang untuk melahirkan intelektual-intelektual yang nantinya bisa menopang keberlangsungan perjalanan bangsa yang bersandar pada kesejahteraan rakyat. Namun secara esensinya pendidikan sebagaimana yang disandarkan pada pandangan realitas sepertinya telah jauh dari harapan yang ada sehingga keberadaan institusi pendidikan yang ada saat ini hampir menjadi institusi yang menghamba pada modal dan kekuasaan, keberadaan pendidikan tidak lebih sebagai ruang legitimasi akademik yang dijadikan alat pembenaran dalam penerapan kebijakan-kebijakan yang anti terhadap rakyat.
Disaping itu apabila keberhasilan pendidikan di identifikasikan sebagai kulitas poses dan kulitas produk maka landasan ini sejalan dengan pandangan dasar dalam sistem ekonomi secara implisit terilhami dari prinsip yang dikemukakan oleh Max Weber ”mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya” , maka keberadaan mahasiswa adalah “Buruh” dan kampus adalah “Pabrik”. Orientasinya adalah, setelah lulus para peserta didik ini akan segera menjadi penggerak kapitalisme. Mereka berbondong-bondong mendatangi perusahaan-perusahaan asing dan dalam negeri, berlomba menjadi manajer, direktur, mengumpulkan harta yang banyak, gengsinya meningkat dan mereka mengabaikan kesejahteraan buruh, jauh dari watak sosial. Kapitalisme membutuhkan para buruh untuk memutarkan baling-baling industrinya, begitu juga dengan para lulusan mahasiswa saat ini.
Fenomena sistem pendidikan sebagaimana yang disebutkan di atas memberi efek terhadap bertambahnya jumlah pengangguran sebagaimana yang semakin dirasakan oleh masyarakat indonesia saat ini. Sebagai sandaran yang dapat ditunjukan “Menurut data Biro Pusat Statistik, jumlah penganggur terdidik lulusan universitas di Indonesia meningkat tajam dari 409.900 pada Februari 2007 menjadi 626.200 orang pada Februari 2008. Sementara untuk lulusan diploma yang menganggu di rentang waktu tersebut meningkat dari 330.300 orang menjadi 519.900 orang atau naik 57%,” kata Koordinator Recognition and Mentoring Program (RAMP) Institut Pertanian Bogor, Ono Suparno dalam Seminar Technopreneurship di Kampus Institut Teknologi Telkom, Kamis (4/3).
Sebagai solusi terhadap permasalahan tersebut, terdapat banyak agenda yang dapat membangun peradaban kepada arah yang lebih baik dan dalam lingkup yang lebih luas tentunya, apabila justru dapat digagas dengan baik, karena pada kenyataannya membangun peradaban tidak dapat hanya dilakukan parsial saja. Membangun peradaban harus dilakukan secara bersama melalui mekanisme dengan kesamaan substansi menuju bentuk peradaban yang ideal. Salah satu tugas peradaban adalah proses pencarian dan penggalian (ilmu). Artinya pencarian dan penggalian tidak dapat dijalankan hanya dengan proses adopsi tanpa adaptasi. Pencarian dan penggalian juga harus dilakukan dengan cara ”pencerahan dan pembebasan” sesuai realitas.
Dengan demikian prinsip yang mendefinisikan proses pendidikan adalah sebagai sebuah proses untuk melahirkan produk kiranya hanya sebagai barang konsumsi dengan harga terjangkau, maka untuk itu bagaimana seyogianya peningkatan mutu haruslah dilakukan dengan peningkatan kualitas input sehingg pendidikan sarat dengan nilai-nilai yang di konsumsi dalam mentranfer keilmuan sehingga akan menjadikan lulusan-lulusan yang bermartabat.


B. Pengaruh revolusi industri terhadap pendidikan
Lahirnya teori educational production yakni process dalam pendidikan yang memandang proses pendidikan sama dengan proses produksi di sebuah pabrik. Anak didik dipandang sebagai masukan kasar (raw input), sekolah adalah sebagai pabriknya, sedang guru, kurikulum, buku, dan fasilitas pendidikan lainnya sebagai masukan instrumental (instrumental input), kondisi politik, sosial, ekonomi, budaya, dan aspek pertahanan keamanan merupakan masukan lingkungan (environmental input). Semua masukan kasar dan instrumental tersebut akan mempengaruhi keluaran yang diharapkan (output) dan hasilnya (outcomes).
Pandangan tersebut memang memiliki pengaruh positif dalam menghasilkan keluaran atau output secara massal yang memiliki standar tertentu. Semua komponen dalam sistem telah terstandar. Oleh karena itu hasilnya diharapkan juga akan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Kesalahan yang terjadi adalah mutu produk sering dikaitkan dengan mutu instrumentalnya. Jika gurunya bagus, kurikulumnya juga bagus, dan gedung sekolah, buku, dan fasilitas lainnya bagus, maka diharapkan hasilnya juga akan bagus.
Namun kenyataan yang dirasakan guru telah ditingkatkan kompetensinya melalui berbagai jenis pendidikan dan pelatihan. Kurikulum telah diubah, dan fasilitas pendidikan juga telah dibangun dan dilengkapi. Kenyataannya, keluaran dan hasil pendidikan tidak pernah naik secara signifikan. Hal tersebut terjadi karena yang digarap hanya instrumental input-nya. Proses pendidikan di dalam kelas tidak terjadi proses humanisasi, melainkan dehumanisasi. Anak dipandang sebagai botol kosong yang diisi dengan muatan yang sama. Proses pembelajaran tidak terjadi secara edukatif, tidak menyenangkan, dan kelas bahkan lebih cenderung sebagai penjara, tidak PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan).
Dalam pendidikan sekolah, yang sering dilupakan adalah prosesnya, yang sebenarnya amat ditentukan oleh aspek manusianya, bukan mesin seperti dalam dunia industri meskipun dalam dunia industri pun manusia juga memegang peranan penting. Proses dalam dunia pendidikan amat memegang peranan penting, karena yang diproses adalah manusia, yang memproses juga manusia. Akibatnya, sistem pendidikan yang dipengaruhi oleh faham kapitalisme ini menganggap peserta didik adalah obyek, bahkan sering disebut untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) amat dekat dengan konsep dehumanisasi pendidikan. Sehingga pantaslah jika Menteri Pendidikan Nasional, Bapak Bambang Sudibyo, menyebutkan bahwa proses pendidikan yang terjadi lebih menghasilkan manusia kuli atau manusia robot dengan standar yang ditentukan oleh kaum pemegang modal (kapitalis). Inilah aspek negatif yang ditimbulkan oleh paham kapitalistik dari era revolusi industri tersebut. Manusia kehilangan jati dirinya sebagai manusia secara pribadi (subyek). Inilah hakikat dehumanisasi dalam pendidikan.
Seyogianya input pendidikan dapat diidentifikasi secara jelas, yakni kurikulum, guru dan tenaga kependidikan yang lain, pergedungan dan ruang kelas, laboratorium, dan buku. Peningkatan mutu sekolah merupakan upaya dan kegiatan untuk meningkatkan berbagai input tersebut, termasuk raw input, yakni siswa. Oleh karena itu peningkatan kualitas guru sebagai instrumental input merupakan suatu keharusan, termasuk keberadaan pendidikan dan pelatihan guru yang relevan dan memadai. Peningkatan kualitas pembelajaran disamping ditentukan oleh kualitas guru juga ditentukan oleh keberadaan teknologi informasi dan komunikasi modern dalam pembelajaran.
Oleh karena itu, teknologi informasi dan komunikasi sebagai fasilitas pembelajaran harus dipersiapkan. Siswa sebagai input juga perlu dipersiapkan dengan baik. Untuk itu anak-anak semenjak dini harus mendapatkan pendidikan taman kanak-kanak. Dengan mendapatakn pendidikan TK inilah anak-anak dipersiapkan dengan baik untuk masuk ke jenjang sekolah dasar. Disamping itu, kurikulum baik dalam arti isi maupun delivery and instructional system serta evaluasi perlu dipersiapkan, bahkan perlu distandarisasi. Oleh karena itu penekanan terhadap reformasi manajemen pendidikan sebagai salah satu upaya dalam peningkatan kualitas sekolah, termasuk diantaranya perlu peningkatan kualitas kepemimpinan kepala sekolah dan guru yang berpartisipasi langsung dalam proses pendidikan.

C. Pendidikan Sebagai Komoditas Kapitalisme
Mengutip pendapat rektor universitas pelita harapan Harian kompas 27 maret 2002, ”pendidikan perlu dikelola sebagai industri” upaya perbaikan pendidikan di indonesia harus di ambil langkah trobosan seperti dalam dunia industri. Maka dengan semestinya yang memimin dalam lingkungan sekolah adalah orang yang memahami masalah pemasaran, keuangan, dan predikdi-prediksi ke depan.
Argumentasi seperti ini jika disertakan dalam pendidikan maka pendidikan sudah dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis industri maka ranah pendidikan mengarah kepada mengejar keuntungan . Dari keuntungan inilah diharapkan akan terjadi akumulasi modal yang terus menerus sehingga menjadi besar. Menurut pandangan marx pengejaran keuntungan merupakan hal yang hakiki dalam kapitalis, tujuan dari modal bukanlah untuk melayani kebutuhan-kebutuhan tertentu akan tetapi untuk menghasilkan keuntungan. Sehingga tidak aneh bila dalam dunia pendidikan perguruan tinggi muncullah program-program pengejaran keuntungan seperti program kelas jauh, kelas ekstensi, kelas eksekuif dan semester pendek yang tentunya terbungkus oleh isu kesejah teraan karyawan dan mahasiswa, yang kesemuanya itu dengan tujuan untuk menambah dana dan modal layaknya suatu industri.
Kecenderungan itu dapat kita lihat di era reformasi dan globalisasi dengan melemanyakekuasaan negara karena di desak oleh kekuasaan ekonomi sehingga terjadi bisnis dalam dunia pendidikan. Maraknya pembukaan program ekstensi atau non-reguler di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) ada kecenderungan untuk memperoleh dana ketimbang untuk demokratisasi pendidikan. Sehingga pendidikan semakin elitis. Membesarnya pemungutan biaya yang relatif tinggi tampaknya belum sebanding dengan peningkatan mutu pendidikan. Karena nuansa bisnisnya semakin menguat, maka orang juga mulai mempertanyakan eksistensi lembaga pendidikan sebagai lembaga pelayanan publik.
Fenomena lain berbagai gedung pendidikan beralih fungsi menjadi pusat bisnis. Meskipun pemerintah dikritik bahkan didemo oleh masyarakat yang keberatan, tetapi kebijakan itu tetap berlangsung. Pemerintah dalam hal ini tampak tidak berdaya menghadapi para pemilik modal. Masalah mahalnya pendidikan antara lain disebabkan kurang adanya komitmen dari pemerintah maupun partai politik untuk memprioritaskan bidang pendidikan. Ini terlihat dari anggaran pendidikan yang sangat minim.
Pemerintah Indonesia sampai sekarang belum memiliki political will untuk memprioritaskan pendidikan untuk perbaikan ekonomi dan sumber daya manusia. Negara sebagai penanggung jawab utama pendidikan nasional seharusnya menyediakan fasilitas pendidikan yang realistik dan memadai. Secara normatif dalam sejarah pernah ada kebijakan negara yang mengamanatkan anggaran pendidikan 25% dari APBN (Tap MPRS No. XXVII /MPRS/1966). Begitu pula di era reformasi UUD 1945 mengamanatkan anggaran pendidikan 20 % dari APBN. Dalam kenyataan empirik dana pendidikan dewasa ini diperkirakan hanya sekitar dibawah angka cukup.
Sesungguhnya telah banyak bukti seperti dinyakatan Lauritz-Holm Nielson (Lead Specialist for Higher Education, Science and Technology the World Bank) pada acara International Conference Higher Education Reform 2001 di Jakarta bahwa pendidikan tinggi merupakan kunci terpenting dalam pembangunan ekonomi secara global. Akumulasi penguasaan pengetahuan dapat menjadi keunggulan kompetitif suatu negara. Selanjutnya Nielson menyatakan di negara – negara maju, investasi di bidang penelitian dan pengembangan (litbang) bisa mencapai 85 % dari total anggaran litbang seluruh dunia. Di India, Brasil, Cina, dan negara-negara Asia Timur lainnya, anggaran litbangnya mencapai 11 % dari total anggaran litbang dunia. Hanya tersisa 4 % yang dibagi oleh negara–negara sedang berkembang. Dalam kondisi dana litbang yang sangat minim di negara sedang berkembang, Nielson melihat negara –negara sedang berkembang tidak memahami strategi pertumbuhan ekonomi melalui penguasaan pengetahuan. Padahal penguasaan pengetahuan melalui pendidikan pada akhirnya dapat meningkatkan kapasitas keuntungan kompetitif negaranya.
Terkait dengan permasalahan tersebut, Amerika Serikat menemukan hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa investasi dalam dunia pendidikan jauh lebih menguntungkan dibandingkan investasi di bidang saham (Abuddin Nata, 2009). Setelah itu Amerika Serikat membiayai penelitian terapan (applied research) dalam bidang pendidikan tidak kurang dari 6 milyar dollar. Hasilnya adalah Amerika Serikat memiliki sebuah sistem pendidikan yang berorientasi pasar. Standarsisasai terhadap berbagai aspek pendidikan mereka lakukan, dan hasilnya diakui dunia, karena lulusannya sangat unggul dan mampu bersaing dalam merebut peluang. Untuk itu mulai tahun 70-an hingga sekarang, Amerika Serikat menjadi kiblat pendidikan di dunia.
Pada tahap selanjutnya, model pendidikan Amerika ini diadopsi oleh seluruh dunia, hingga timbul kesepakatan dari seluruh negara di dunia, bahwa pendidikan adalah salah satu komoditas yang diperdagangkan. Setiap orang yang akan memasuki sebuah perguruan tinggi misalnya, terlebih dahulu bertanya: Nanti kalau sudah lulus bisa jadi apa, Kerjanya di mana, Dan gajinya berapa. Jawaban yang diharapkan dari pertanyaan ini tentunya adalah: jika sudah lulus akan memiliki gelar dan keahlian yang sangat mudah mendapatkan kerja dengan gaji yang besar. Jika program studi atau satuan pendidikan tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut, maka program studi tersebut akan kehilangan pasar. Itulah sebabnya beberapa program studi, termasuk program studi agama saat ini kurang mendapatkan peminat, dibandingkan dengan program studi lainnya, seperti kedokteran, ekonomi, komputer dan sebagainya.
Berbagai peraturan perundang-undangan tentang pendidikan yang ada di seluruh dunia pada umumnya memuat pasal yang saling membolehkan di antara negara-negara di dunia untuk membuka praktek pendidikan. Karena pendidikan sudah merupakan salah satu komoditas yang diperdagangkan, maka pendidikan kemudian tunduk pada hukum pasar dan logika bisnis yang bertumpu pada pola pikir materialistik, ekonomis, pragmatis dan sistemik. Berbagai komponen pendidikan: visi, missi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, manajemen pengelolaan, dan berbagai komponen pendidikan lainnnya harus tunduk pada hukum pasar dan logika bisnis. Membuka lembaga pendidikan yang berbasis pada logika bisnis, tak ubahnya seperti membuka restoran. Menu yang disajikan harus sesuai dengan selera pelanggan, letaknya strategis, pelayanannya cepat, tepat, ramah, menyenangkan dan profesional, ruang dan tata letaknya asri, indah, aman dan nyaman, harganya terjangkau, dan seterusnya.
Dengan ilustrasi tersebut, maka pendidikan yang ditawarkan harus sesuai dengan yang diinginkan masyarakat, para pendidik, tenaga kependidikan dan pengelolanya profesional, letaknya mudah dijangkau, lingkungannya yang kondusip, dan biayanya yang terjangkau. Selain itu, pendidikan yang dijual tersebut harus mendapatkan pengakuan dari lembaga internasional yang kredibel, melalui sertifikat akreditasi yang diakui (recognize). Lembaga pendidikan dengan pendekatan bisnis juga harus memiliki sistem dan infra-struktur yang dijiwai oleh budaya bisnis yang unggul (corporate culture). Logika bisnis yang bertumpu pada pola pikir materialistik, ekonomis, dan pragmatis ini telah menggeser praktek pendidikan yang didasarkan pada logika filsafat, agama, politik dan ilmu pengetahuan sebagaimana di atas.
Rasionalisasi tersebut akhirnya memakan korban yang sangat tragis. Kaum miskin yang berpenghasilan sederhana akan semakin meratapi nasib, karena anak-anak mereka pasti 'gagal' menangkap peluang strategis di institusi pendidikan. Rakyat kecil akan semakin terpinggirkan aksesibilitas publiknya, karena hak pendidikannya terpasung oleh ambisi dan arogansi kuasa pasar. Sangat ironis, memang. Institusi pendidikan sudah diibaratkan 'barang dagangan' (komoditas) yang diperjualbelikan, sesuai dengan tingkat kenaikan harga di pasar.
Ketika Dunia pendidikan Indonesia memasuki tahun ajaran baru diwarnai dengan ragam gejolak ihwal naiknya biaya pendaftaran dan registrasi. Institusi pendidikan terus "menancap gas" dalam menaikkan biaya pendidikan, terlebih seiring dengan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan biaya itu, oleh institusi pendidikan, dianggap sebagai sesuatu yang wajar, sesuai dengan kenaikan harga kebutuhan manusia yang juga terus melonjak naik.
Nasib rakyat kecil yang menjadi korban kapitalisasi pendidikan meradang. Kasus di Semarang, di mana biaya masuk sekolah negeri mencapai biaya Rp 5 juta sampai Rp 6 juta. Demikian juga yang terjadi di Jakarta, sekolah berlomba menaikkan biaya pendaftaran dan registrasi, sehingga kaum miskin kehilangan kesempatan menyekolahkan anaknya di sekolah negeri. Nasib tragis warga miskin di berbagai pelosok negeri masih bergentayangan. Terlebih di Indonesia wilayah timur. Selain gagal menggapai pendidikan, nasib mereka masih dikerubungi aneka krisis gizi, kekeringan, dan sebagainya.
Tidak mudah bagi mereka yang berada pada level menengah ke bawah bisa menikmati pendidikan di sekolah swasta. Partisipasi masyarakat dalam menuntaskan wajib belajarpun masih memprihatinkan. Misalnya bisa dilihat indikatornya masih banyaknya usia wajib belajar belum memperoleh pendidikan. Pada tahun 2004 menurut Depdiknas dari 13 juta anak usia 13 – 15 tahun atau usia SMP yang belum tertampung masih sekitar 2, 5 juta anak. Pendidikan alternatif program paket belajar belum mampu mengatasi anak yang belum tertampung. Karena baru sekitar 245.000 yang terlayani melalui 12.871 TBK (Tempat Kegiatan Belajar) di bawah naungan 2 870 sekolah. Kondisi ini masih diperparah sekitar 97 % pelajar SMP terbuka tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dikarenakan factor ekonomi atau tidak adanya sekolah lanjutan di tempat tinggal mereka (Kompas, 19 Juli 2004).
Dapat disimpulkan bahwa apabila kapitalisme berwujud sebagai komuditas dalam dunia pendidikan maka pada level-level tertentu pendidikan hanya dapat dirasakan oleh kalangan menengah ke atas hal ini tentu tidak dapat dirasakan oleh masyarakat miskin karena biaya pendidikan yang harus dibayar mahal. Sehingga kemampuan yang dimiliki oleh sebagian masyarakat yang kurang mampu tidak dapat disalurkan layaknya penikmat ilmu di dunia pendidikan secara umum. Untuk itu sangat diperlukan sebuah kebijakan dalam sistem pendidikan secara menyeluruh agar semua kalangan dapat mencicipi masnisnya ilmu di berbagai jenjang studi.


D. Dehumanisasi Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Kebijakan sekolah pembangunan yang dilahirkan oleh Komisi Pembaharuan Pendidikan sepertinya juga tidak terlepas dari upaya dan kepentingan untuk lebih memperhatikan peserta didik yang memang memiliki bakat dan kemampuan yang lebih. Ketika itu lahirlah sistem modul yang digunakan dalam proses pembelajaran. Dengan sistem modul ini, siswa yang lebih cepat belajar akan lebih cepat menyelesaikan pelajarannya. Sayangnya, kompetisi seperti itu hanya berlaku dalam bidang akademis, tidak berlaku dalam bidang nonakademis. Jalur pendidikan keterampilan di SMA tidak pernah hidup.
Sebenarnya di sini telah mulai adanya indikasi dehumanisasi, karena siswa yang memiliki bakat dan kemampuan nonakademis seperti seni musik, seni rupa, seni tari, dan olah raga tidak memperolah hak dan perhatian sebagaimana mestinya. Kelahiran kebijakan pendidikan sejarah perjuangan bangsa (PSPB) dan Pendidikam Moral Pancasila (PMP) sebenarnya merupakan keinginan untuk memperbaikai aspek kepribadian dan moralitas bangsa melalui pendidikan. Konsep ini mengalami kemacetan dalam perjalanannya, karena model indoktrinasi dalam proses pembelajarannya kemudian dihadang secara pelan tapi pasti oleh derasnya arus informasi, demokratiasi, globasisasi, dan reformasi, yang terjadi di belahan bumi mana pun juga.
Kebijakan tentang sekolah unggulan yang pernah muncul, dan yang kini dicoba untuk dibangkitkan kembali dengan pola sekolah global, sekolah (SMP dan SMA) dengan standar nasional dan standar internasional, TK/SD model, sebenarnya merupakan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan yang makin hari makin tertinggal jauh dengan sekolah-sekolah internasional yang semakin hari semakin diminati oleh masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi. Model sekolah seperti ini dapat masuk dalam kategori dehumanisasi jika kebijakan itu tidak memiliki perhatian yang adil bagi mereka yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang rendah.
Pada umumnya keluarga yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi akan lebih banyak memiliki kesempatan untuk meningkatkan mutu pendidikan anaknya. Maka muncullah masalah jurang pemisah antara yang mampu dengan yang miskin. Dari sinilah muncul indikasi dehumanisasi , karena faktor sosial ekonomi. Ada kesan kuat pemerintah lebih memperhatikan pendidikan untuk kalangan yang mampu dari aspek sosial ekonomi, akibat dari kebijakan seperti itu. Timbulnya gagasan kebijakan baru tentang sekolah mandiri dan sekolah standar sebenarnya dilatarbelakangi untuk lebih memperhatikan kalangan yang tidak mampu, agar dapat memperoleh layanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan akademis dan kemampuan ekonomisnya. Untuk itulah maka ditemukan peta keadaan pendidikan di negeri ini seperti ini, yang melahirkan gagasan tersebut.
Dari sinilah muncul kritik tajam tentang isu keadilan dan dehumanisasi dari kalangan praktisi pendidikan. Jika penggolongan ini tidak dalam bentuk lembaga pendidikan yang terpisah, memang akan menjadi proses alineasi dari kalangan keluarga mampu dan tidak mampu. Dan ini akan sangat berbahaya karena bisa menimbulkan konflik sosial yang berbahaya. Tetapi, jika penggolongan itu hanya terbatas untuk digunakan dalam membangun sistem pemberian beasiswa untuk siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu, maka sistem ini tidak dapat diindikasikan dengan isu ketidakadilan dan dehumanisasi.
Bukankah untuk memberikan beasiswa kepada siswa memang diperlukan data tentang prestasi akademis dan nonakademis siswa. Ketika negara masih memiliki anggaran yang terbatas, maka beasiswa tersebut hanya akan diberikan bagi mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang rendah, supaya tidak mengalami DO. Sementara siswa yang berasal dari keluarga yang mampu dinilai telah dapat meneruskan pelajarannya sesuai dengan tingkat kemandiriannya.

E. Perlunya keseimbangan dan pengawasan Pendidikan
Dalam situasi pendidikan yang tengah berada di persimpangan, maka paling kurang perlu dua hal Abuddin Nata, Pertama, pendidikan seharusnya tidak didominasi oleh salah satu kekuatan dari kekuatan-kekuatan tersebut di atas. Pendidikan perlu mempertimbangkan seluruh kepentingan secara seimbang. Kepentingan filsafat, agama, politik, ilmu pengetahuan, teknologi, perdagangan, bisnis dan sebagainya harus diberi porsi secara wajar dan seimbang, mengingat semua hal tersebut dibutuhkan oleh manusia. Pendidikan yang hanya memperhatikan salah satu kepentingan saja, adalah pendidikan yang akan menghasilkan manusia yang tidak utuh, atau manusia yang terkotak-kotak. Manusia yang demikian adalah manusia yang rapuh, dan tidak memiliki daya tahan dalam menghadapi berbagai problema kehidupan.
Kedua, perlu ada semacam badan pemeriksa dan pengawas pendidikan, yang tugasnya antara lain melakukan pengawasan dan merevieuw terhadap seluruh kebijakan dalam bidang pendidikan secara utuh dan konprehensif, sehingga pendidikan tidak terjebak kepada salah satu tarikan yang merugikan. Melalui badan pemeriksa dan pengawas ini, maka pendidikan akan diarahkan pada terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya, yaitu pendidikan yang bukan hanya ada dalam rumusan konsep, tetapi juga dalam praktek. Dengan cara itulah, pendidikan tidak akan tersesat di persimpangan jalan. Kalau kita merunut beberapa tahun kebelakang, maka akan ditemukan beberapa hal yang menjadi penyebabnya.
Di tengah euforia Reformasi 1998, lahir suatu wacana tentang Otonomi Kampus yang dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada perguruan-perguruan tinggi dalam melaksanakan mimbar akademik. Lahirnya PP No. 61 tahun 1999 justru mengaburkan itu semua. Logika yang dipakai pemerintah merupakan suatu pembebanan biaya pendidikan kepada PTN yang sebenarnya adalah tanggung jawab negara. Maka kemudian diubahnya PTN menjadi BHMN merupakan awal dari malapetaka pendidikan tinggi. Ada empat PTN di Indonesia telah menjadi BHMN, yaitu UI, IPB, ITB,UGM dan UNAIR (yang secara resmi ditetapkan melalui PP No. 153 tahun 2000). Pemerintah, dengan demikian mulai melepaskan subsidi pendidikan secara bertahap, sehingga konsekuenisinya setiap institusi pendidikan harus mengusahakan sendiri biaya untuk pendidikan.
Lahirnya beberapa produk peraturan pemerintah yang sangat pro terhadap modal tidak bisa dilepaskan dari peran serta intelektual dan instituasi pendidikan yang menjadi agen intelektual untuk melegitimasi kebijakan tersebut, sebut saja beberapa rentetan lahirnya produk peraturan pemerintah seperti: undang-Undang Privatisasi yang kemudian dibarengi degan lahirnya undang-undang lainnya yang pro modal seperti : UU Migas, UU SDA, UU Sisdiknas, UU Ketenagakerjaan, Perpres 36 tentang pertanahan-semua menjadi cerminan atas kebobrokan kaum intelektual serta institusi pendidikan yang telah menjadi alat dari kapitalisme internasional dan kekuasaan untuk menindas rakyat.
Paradigma pendidikan nasional yang kapitalistik ini mendapat legitimasinya, saat UU-BHP di syahkan 2007. Penataan pilot proyek liberalisasi Indonesia alias penataan industrialisasi Perguruan Tinggi pasca reformasi sudah disiapkan secara sistematis melalui payung PP No/60/1999 Tentang Perguruan tinggi, PP No/61/1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara, PP No/151/2000, PP No/152/2000, PP No/153/2000, PP No/154/2000 dan PP No/06/2004. Itulah kelengkapan legal untuk menata empat perguruan tinggi negeri tertua di Indonesia, yaitu ITB, UI, UGM, dan IPB, yang kemudian diikuti oleh USU, UPI dan terakhir UNAIR, menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara. Keempat perguruan tinggi pertama tersebut dijadikan percontohan penerapan otonomi perguruan tinggi. Ciri khas suatu PT-BHMN adalah pengumpulan dan pengelolaan dana dilakukan secara mandiri oleh institusi pendidikan tersebut. Pemerintah tidak lebih hanya bertindak sebagai fasilitator asing alias kaki tanganya saja. Di samping itu, pemerintah tidak berwenang untuk menunjuk rektor karena peran tersebut sudah diambil oleh Majelis yang berperan layaknya sebagai Dewan komisaris dan Dewan Direksi yang kadang saja hanya memikirkan keuntungan dan tidak memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan nasional secara umum.
Karakter kampus yang elitis akhirnya hanya mampu menghasilkan intelektual-intelektual gadungan yang menopang sistem kekuasaan sehingga apa yang di cita-citakan dalam UUD 1945 ternyata jauh dari kenyataan, karena tidak semua warga negara dapat menikmati pendidikan dengan layak. Denga alasan biaya pendidikan dinaikan begitu saja tanpa adanya pertimbangan terhadap kondisi ekonomi sebagian besar rakyat, yang sampai hari ini belum juga membaik. Data yang ada menunjukan bahwa hanya sekitar 12% lulusan sekolah menengah yang dapat melanjutkan ke perguruan tinggi, sedangkan sebagian besar sisanya tidak mampu melanjutkan ke perguruan tinggi karena masalah ekonomi. Sehingga, dengan logika yang sederhana pun kita dapat menyimpulkan bahwa seleksi ke perguruan tinggi lebih ditentukan oleh seleksi ekonomi dari pada akademis (biro pusat statistik 1992).

F. Ideologi Neo Liberalisme dan Pendidikan
Globalisasi yang berlangsung saat ini bersama dengan kebangkitan pemikir neo-liberalisme di dunia barat yang berusaha menggulung kembali pemikiran keynesianisme, yakni suatu filsafat pertama yang koheren dengan intervensi negara dalam kehidupan ekonomi. Bagi kaum neo liberalisme berprinsip bahwa kaum pedagang komersial harus diperbolehkan untuk mempertukar uang dan barang tanpa menghadapi hambatan-hambatan. Dengan keyakinan terhadap perdagangan bebas sajalah yang mampu menggerakkan persaingan dan pengembangan manfaat sumber daya tenaga kerja dan pasar modal, sehingga proteksionisme bagi kaum neo liberalis dipandang sebagai jeritan kaum vested interes dalam masyarakat, mendistorsi permintaan pasar dan secara antifisial menurunkan harga serta meningkatkan ketidak efisien, oleh karena itu proteksionisme harus ditentang oleh negara demi kepentingan nsional.
Dilandasi pada perdagangan bebas sebagai penggerak persaingan dan pengembangan manfaat sehingga berakibat pada semakin menipisnya peran negara karena negara tidak memiliki sumber-sumber tanpa batas yang dapat dimanfaatkan secara bebas namun peran mereka sudah digantikan oleh aktor-aktor nonteritorial seperti gerakan-gerakan sosial maupun organisasi-organisasi internasional. Jadi tidak mengherankan apabila institusi pendidikan dalam hal ini perguruan tinggi menggunakan standar internasional. Bersamaan dengan itu neo liberaisme menjelma dalam kebijakan pasar maka kemunduran peran negara yang terlihat di indonesia tidak hanya dalam bidang ekonomi, dan politik saja namun telah merambat ke seluruh sektor-sektor sosial, diantaranya sektor pendidikan, perguruan tinggi dengan dalih globalisasi yang tidak dapat dibendung.
Menurut malik saat ini banyak sekali negara lain yang menawarkan jasa pendidikan disamping tantangan lain yang juga menjadi amanat propenas bidang pendidikan adalah bahwa pendidikan harus melakukan demokratisasi, desentralisasi dan mengakui serta memberi keragaman pendidikan kepada seluruh bangsa indonesia. Disamping itu semakin derasnya ekspansi pendidikn luar negeri sangat perlu untuk dicermati karena dalam hal ini negara-negara lain ingin menanamkan pengaruhnya di indonesia, bahkan apa yang dilakuakan oleh amerika serikat melalui sosialisasi model pendidikan civic educationt sebagai masalah demokrasi hak asasi manusia sebagai pendampingan dari isu-isu politik. Maka untuk itu perlu adanya penyaringan yang utuh terhadap arus perkembangan informasi yang berkembang dengan penawaran tertentu namun perlu disiasati karena setiap barang komersial mempunyai masud dan keinginan tersendiri.

G. Komersialisasi Pendidikan
Dalam pidato yang disiarkan metro TV tanggal 07 April 2010 Jam 13. 10 WIB, Presiden SBY mengumumkan dibatalkannya UU BHP oleh MK sebagai penggantinya akan dicari format terbaik yang lain untuk kemajuan pendidikan. Pembatalan ini merupakan pelajaran untuk melihat kondisi pendidikan yang selama ini telah terjadi. Persoalannya kemudian adalah momentum komersialisasi tersebut dapatkah dihentikan oleh pemerintah dengan mengumumkan pembatalan tersebut. Jika menarik pelajaran kita tidak akan bisa menurunkan harga jika sudah terjadi.
Proyek komersialisasi sekolah yang sedang berjalan sekarang sangat mungkin mencerminkan kesulitan, bahkan kegagalan pendidikan dalam melepaskan diri dari jerat kapitalisasi. Jerat kapitalisasi pendidikan, menurut Darmaningtyas, menjadikan pendidikan harus 'menyembah' kepada aturan main pasar, sehingga kebijakan dunia pendidikan bukan lagi berorientasi kepada pencerdasan dan pemanusiaan manusia, tetapi justru menjadi ajang mengeruk keuntungan finansial. Menyembah kepada pasar, mengakibatkan dunia pendidikan menjadi salah satu sarana rekolonialisasi dan reimprealisasi neoliberal dalam menghegemoni seluruh ruang gerak manusia.
Gerak laju dunia pendidikan akhirnya terjebak dalam statistik yang penuh rentetan data sebagai bahan laporan bagi lembaga yang disetir dunia pasar. Data-data itu kemudian menjadi bahan dasar 'pengelola pasar' dalam monitoring laku-tidaknya aksentuasi formalitas pendidikan dalam pertarungan dunia industri global. Dalam tataran demikian, siswa dan mahasiswa dijebak dalam jerat permainan industri global.
Pendidikan dengan logika bisnis juga membutuhkan sistem dan infra-struktur yang kuat dan handal, yang memungkinkan mengantarkan situasi orang yang menggunakannya akan mencapai tujuannya dengan hasil yang memuaskan. Dalam konteks pendidikan, Marx Weber menyingkapkan bahwa basis dari gerak sejarah sistem pendidikan dunia ditentukan oleh kapital (ekonomi). Teori ini disebut dengan determinisme ekonomi. Tampaknya, ramalan Marx itu benar, khususnya di Indonesia. Buktinya, regulasi kebijakan pendidikan pemerintah, dalam hal ini Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), tidak lain merupakan penjelmaan perselingkuhan antara dunia pendidikan dengan kepentingan kapital. UU BHP membuka akses bagi praktek kapitalisme di bidang pendidikan. Lembaga pendidikan saat ini tidak lagi menjadi media transformasi nilai dan instrumen memanusiakan manusia, melainkan menjadi lahan basah bagi para pengelola pendidikan untuk mengeruk keuntungan finansial.
Perubahan proporsi kebijakan ini tidak didasari cara berpikir integral, bukan hanya tentang keberlanjutan kompetensi akademis, tetapi juga pemahaman akan fungsi evaluasi itu sendiri. Dari segi keberlanjutan kompetensi akademis, menciptakan lebih banyak SMK, sementara lupa mengintegrasikannya dengan membangun akademi atau politeknik sesuai kompetensi yang dibutuhkan, hanya akan menciptakan tenaga kerja murah dan hanya menguntungkan perusahaan swasta karena mereka tak perlu membiayai ongkos pelatihan untuk perekrutan karyawan yang baru, sementara beban seperti ini ditanggung negara.
Perubahan proporsi SMA-SMK dianggap merupakan bagian tugas Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah, sedangkan pendirian pendidikan setingkat akademi merupakan bagian kinerja Ditjen Pendidikan Tinggi. Dua direktorat jenderal ini harus bekerja sama menciptakan program pendidikan yang sinambung sehingga mereka yang masuk SMK memiliki kesempatan melanjutkan ke politeknik atau akademi yang setingkat dengan PT.
Soenjono Dardjowidjojo mengemukakan, banyak kebijakan pendidikan di Indonesia yang salah arah. Akan tetapi, menurut dia, dalam membangun pendidikan tidak perlu terlalu menyalahkan dan menggantungkan diri pada pemerintah. Di Amerika Serikat pun, kata Soenjono yang pernah memimpin sebuah jurusan di Universitas Hawaii, perguruan tinggi yang unggul justru perguruan tinggi swasta. “Untuk mengembangkan pendidikan, kita tidak bisa bergantung pada dana pemerintah”. Biarkan tumbuh universitas-universitas swasta yang dikelola seperti perusahaan atau industri. Lembaga pendidikan memang harus dikelola seperti badan usaha. Asalkan dijamin bahwa keuntungannya akan dikembalikan untuk peningkatan mutu lembaga pendidikan itu.

H. Rendahnya Mutu Buku Pelajaran
Setiap kali kenaikan kelas, orang tua murid selalu gundah mencari tambahan biaya untuk membeli buku paket pelajaran baru dari sekolah. Ditengah-tengah keresahan orang tua siswa tersebut, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Alwi Shihab, melontarkan gagasan pemberlakuan buku pelajaran minimal 5 tahun. Gagasan ini muncul merespon ramainya keluhan para orang tua siswa yang harus menanggung lebih banyak biaya untuk buku paket pelajaran. Meskipun seorang siswa memiliki kakak yang duduk di kelas lebih tinggi, ia harus membeli buku pelajaran baru. Fenomena ini seringkali dilukiskan dengan jargon ”ganti tahun ganti buku pelajaran”.
Menindaklanjuti gagasan Menko Kesra ini, akhirnya kebijakan tentang perbukuan tingkat SD sampai dengan SLTA dimasukkan sebagai target wajib belajar pendidikan 9 tahun dalam Program 100 Hari SBY. Untuk ini akan diterbitkan Peraturan Presiden yang mengatur buku pelajaran.
Substansi peraturan ini antara lain adalah buku pelajaran dibatasi masa pakainya minimal lima tahun. Penerbit dilarang langsung berjualan buku ke sekolah dan ada sanksi administrasi bagi pelanggarnya. Hal ini terutama untuk menghindari praktik percaloan buku di sekolah yang ujung-ujungnya hanya akan memberatkan beban orang tua siswa.
Kebijakan pembatasan buku pelajaran ini sekilas nampak sebagai kebijakan populis. Artinya pemerintah dengan kebijakan ini ingin mencitrakan keberpihakannya pada rakyat banyak. Pasalnya dengan mematok buku pelajaran berlaku minimal selama lima tahun, masyarakat tak perlu harus membeli buku pelajaran baru. Siswa memiliki pilihan untuk memakai buku pelajaran kakak kelasnya, sehingga siswa miskin tak lagi perlu mengeluarkan biaya.
Namun demikian, Perpres pembatasan buku pelajaran sekolah ini apabila tidak dikaji secara serius sebenarnya mengandung dampak negatif menghambat pembaharuan informasi bagi anak didik. Untuk menghindari ”salah kebijakan” yang dapat berakibat buruk bagi mutu pendidikan di Indonesia sebaiknya pemerintah SBY-Kalla memilah persoalan yang ada. Dalam hal buku paket sekolah ini, sebenarnya ada dua akar persoalan yang membutuhkan penyelesaian berbeda.
Persoalan pertama, mutu buku paket pelajaran. Mutu buku sekolah saat ini masih sangat rendah. Hal ini paling tidak tercermin dari studi Sri Redjeki pada tahun 1997. Dari sekitar 300 buku teks biologi SD-SMA yang ia teliti, ternyata isi buku-buku teks Biologi yang digunakan di sekolah-sekolah Indonesia ketinggalan 50 tahun (Supriadi, Dedi 2000: 27).
Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebelum adanya pembatasan masa berlaku buku pelajaran saja buku-buku ilmu pengetahuan Indonesia tertinggal jauh. Apalagi kalau di adakan pembatasan sebagaimana yang dilontarkan oleh pemerintah.
Ilmu pengetahuan dan informasi berkembang sangat cepat, apabila buku pelajaran dipatok berlaku selama minimal 5 tahun akan menghambat perkembangan pengetahuan anak didik. Apalagi perubahan isi buku tidak hanya menyangkut substansi atau isi, tetapi juga metodologi dan cara penyampaian. Persoalan menjadi lebih parah karena masyarakat Indonesia saat ini masih amat bergantung kepada buku pelajaran dan belum terbiasa dengan media lain seperti internet, sementara guru tidak memiliki motivasi mencari alternatif informasi, hal ini dapat menurunkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Oleh karena itu kebijakan pembatasan masa pakai buku pelajaran ini ditakutkan justru akan lebih menurunkan kualitas pendidikan siswa Indonesia. Melihat kondisi ini semestinya pemerintah justru mengambil kebijakan untuk memperbaharui secara kontinyu buku paket pelajaran siswa sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada.
Persoalan kedua, mencegah beban biaya yang terlalu berat bagi orang tua siswa. Buku sekolah saat ini memegang peranan yang sangat dominan di sekolah. Studi yang dilakukan terhadap 867 SD dan MI di Indonesia mencatat bahwa tingkat kepemilikan siswa akan buku pelajaran di SD berkorelasi positif dan signifikan dengan hasil belajarnya sebagaimana diukur dengan Nilai Ebtanas Murni (Supriyadi 1997 dalam Supriyadi 2000: 46). Semakin banyak buku yang dimiliki dan dibaca oleh siswa semakin baik prestasi belajarnya.
Meskipun buku memiliki arti yang sangat penting dalam meningkatkan prestasi belajar siswa, namun harus dimaklumi bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih miskin. Jangankan membeli banyak buku pelajaran sekolah, biaya pokok sekolah saja masih menjadi kesulitan tersendiri bagi mereka. Saat ini mayoritas masyarakat menganggap pendidikan merupakan sesuatu yang mahal.
Ditengah persoalan semacam ini, praktek percaloan buku di sekolah sudah menjadi rahasia umum. Pihak guru atau sekolah mengharuskan siswa untuk membeli buku-buku paket pelajaran melalui mereka, sehingga muncul semacam praktek monopoli yang merugikan. Keharusan membeli buku pelajaran baru setiap tahun ajaran baru membuat beban orang tua menjadi lebih berat.
Kebijakan pemerintah yang diambil semestinya mengatasi dua hal tersebut. Publik membutuhkan kebijakan yang mampu mengurangi beban orang tua tanpa mengorbankan kualitas pendidikan siswa. Kualitas pendidikan siswa dapat dijaga dengan menerbitkan kebijakan yang ketat terhadap pembaharuan isi dan metodologi buku pelajaran. Selain itu juga memperbesar akses siswa terhadap buku pelajaran. Salah satu caranya tentu saja dengan diterbitkannya banyak jenis buku paket gratis dan buku murah.
Mahkfiuddin Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), menyarankan agar kebijakan yang ditempuh bukannya mematok masa pakai buku pelajaran namun memperketat pengawasan agar tidak terjadi monopoli perdagangan buku di sekolah. Selain itu ia juga mengusulkan adanya pembenahan subsidi pada buku pejaran, buku pelajaran dapat dibebaskan dari pajak sehingga harganya lebih murah. Dengan sendirinya segala tingkat atau level masyarakat yang membutuhkan alat atau sarana pembelajaran dapat memperoleh dengan harga terjangkau.



Kesimpulan

Terhadap persoalan yang ditimbulkan oleh sistim kapitalis di tanah air tentunya menjadi salah satu masalah yang mesti diselesaikan. Perkembangan arus informasi dalam dunia global, ilmu pengetahuan menjadi tolak ukur dalam menangkis dan menyaring atau layaknya mencicipi sebuah hidangan yang tidak langsung ditelan mentah-mentah karena tidak semua hidangan dapat langsung disantap namun melihat kepada manfaat dari apa yang dikonsumsi itu
Penekanan pada reformasi manajemen pendidikan termasuk diantaranya perlu peningkatan kualitas kepemimpinan suatu lembaga pendidikan, guru dan dosen yang seyogianya berpartisipasi langsung dalam proses pendidikan merupakan salah satu upaya yang seharusnya ditingkatkan, maka untuk itu input pendidikan dapat diidentifikasi secara jelas, yakni kurikulum, guru dan tenaga kependidikan yang lain, pergedungan dan ruang kelas, laboratorium, dan buku.
Era teknologi informasi dan komunikasi modern seyogianya menjadi media pendukung dalam usaha pengembangan mutu pendidikan kearah yang lebih baik karena jika pada kenyataannya hal ini hanya dapat dirasakan oleh sebagian kalangan saja tentunya perkembangan ilmu hanya disarasakan oleh sebagian kalangan saja. Atas dasar ini juga seharusnya pemeritah dapat memperhatikan kebutuhan pendidikan anak bangsa dengan menyediakan kemudahan-kemudahan dalam rangka melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Prof. Dr. H , MA , Pendidikan di Persimpangan Jalan, Monday, 21 December 2009 16:12
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, LKIS, 2005
Dehumanisasi dapat ditafsirkan sebagai akibat kemerosotan tata-nilai (http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/05/dehumanisasi-dan-perkembangannya/)
Gidden, 1986, hlm. 65
Heri setiawan, Tesis, Pendidikan sebagai Komoditas Kapitalisme: Universitas Indonesia Fakultas Ilmu social dan politik, (Jakarta: 2002). http://eprints.lib.ui.ac.id/7050/1/jkptuipp-gdl-s2-2004-herisetyaw-1677-t8012a.pdf
http://derizzain.multiply.com/notes/item/1
http://fdi.uinjkt.ac.id/index.php/detail/artikel/13/pendidikan_di_persimpangan_jalan.fdi
http: // www.Sribd.com/edukasi/html, 1 September 2004
http://file.upi.edu/direktori/sps/prodi.pendidikan_luar_sekolah/196111091987031-ustofa_kamil/bhaan_kuliah/pengarusutamaan_gender_bidang_pddkn.pdf
http://www.dikti.go.id/penganggur-terdidik-meningkat.html (Friday, 12 March 2010 07:30)
Johan Hendrik Meuleman, "IAIN di Persimpangan Jalan" dalam Problem & Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi (Jakarta: Departemen Agama RI, 2000), h. 41-53.
Kompas 17 April, hlm. 9
Kompas 19 April 2002
Max Weber, Sosioligi Agama…
Muhammad Ali, Pendidikan Unuk Pembangunan Nasional: ”Menuju Bangsa Indonesia Yang Mandiri Dan Berdaya Saing Tinggi”, (Jakarta: Grasindo), hlm. 19 (www.book.google.co.id)
Winarno, hlm. 4
www.scibd.com/Perselingkuhan dunia pendidikan.pdf.html

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama