PERBUATAN HUKUM DAN MUKALLAF

PERBUTAN HUKUM DAN MUKALLAF

A. Pendahuluan

Perintah-perintah syara’ yang dibebankan kepada mukallaf tidaklah dituntut kecuali yang sanggup kita kerjakan. Kerenanya tidak dibebankan bagi kita untuk meninggalkan segala yang telah menjadi tabiaat manusia seperti makan minum, karena yang demikian adalah hal-hal yang harus terpenuhi untuk melangsungkan kehidupan.

Tujuan hukum syara’ adalah untuk dilaksanakan oleh hamba. Ulama ushul menetapkan bahwa syarat pembebanan hukum ialah kemampuan mukallaf untuk melaksanakannya, karenanya sesuatu yang tidak sangggup dikerjakan mukallaf maka tidak boleh dibebani baik menurut syara’ maupun akal. Menyangkut dengan perbuatan yang berindikasi kepada hukum maka mukallaf dibebankan dengan hukum wajib, sunat, mubah, haram, dan makruh. Hal ini sesuatu dengan tuntutan syarak yang dapat saja luput disebabkan oleh awaridh samawi dan awaridh muktasabah yakni seperti gila, mabuk, tertidur, lupa dan sebagainya.

Sekalipun perintah-perintah syarak secara muthlak sibebankan kepada mukallaf untuk dikerjakan, tentunya dalam kepantasan itu memiliki batas-batas yang dinilai memungkinkan untuk melaksanakan seluruh tuntutan yang dibebankan, oleh karenannya seseorang yang dinilai memiliki kecakapan adalah berdasarkan batas-batas tertentu sebagaimana dijelaskan dari beberapa ulama mazhab. Hal ini sesuai dengan pemahaman mereka dalam memahami hukum Allah dalam menjelaskan maksud-naksud yang dikehendaki dalam ungkapan, isyarah dan kehendak nash.

Dengan batas-batas tertentu yang menjadi penentu dalam melaksanakan seluruh tuntutan hukum, maka dalam hal ini Allah mengisyarahkan kepada manusia dengan tidak membebani melainkan sesuai dengan kemampuan mukallaf, untuk itu diberikan kelonggaran dan keringan hukum dalam keadaan-keadaan tertentu dan dengan batas-batas tertentu yang telah disepakati oleh para ulama dalam memahami syari’at.

B. Pengertian Perbuatan Hukum (Mahkum Fih)

Mahkum fih, ialah perbuatan mulakkaf yang berhubungan dengan hukum.[1] Muhammad Hasbi Ash Siddiqy menyebutkan perbuatan hukum adalah “pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan mukallaf yang memiliki implikasi hukum”[2]. Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan atau tindakan subjek hukum yang mempunyai akibat-akibat hukum.[3] Berdasarkan pengertian tersebut maka Perbuatan hukum terdiri dari dua jenis yaitu:

  1. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja menimbulkan hak dan kewajiban pada satu pihak saja, seperti pemberian wasiat, pengakuan anak dll
  2. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih menimbulkan kewajiban terhadap kedua pihak yang sedang melakukan aqad, seperti perjanjian sewa, jual beli hutang piutang.

Pekerjaan yang dibebankan pada mukallaf untuk melaksanakannya didasari pada syarat-syarat berikut:

  1. Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan dapat dilaksanakan.
  2. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakannya karena Allah semata.
  3. Perbuatan yang mungkin dilaksanakan atau ditinggalkan, jika sulit dilaksanakan, maka terjadi pergeseran hukum asal, dari azimah kepada rukhshah.

1) Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan musthil untuk dikerjakan atau ditinggalkan baik berdasarkan zatnya ataupun tidak.

2) Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas nama orang lain.

3) Tidak sah tuntutanyang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia.

4) Tercapainya syarat taklif tersebut.[4]

Disamping syarat-syarat yang penting diatas bercabanglah berbagai masalah yang lain sebagaimana berikut:

  1. Sanggup mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf.
  2. Pekerjaan yang tidak akan terjadi, karena telah dijelaskan oleh Allah bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman
  3. Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan, yaitu yang kesukarannya luar biasa, dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan; dan yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan atau terasa lebih berat daripada yang biasa.
  4. Pekerjaan-pekerjaan yang diijinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang luar biasa.[5]

Dilihat dari segi keberadaanya secara material dan syara, mahkum fih dapat dilihat berdasarkan:

a. Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’. Seperti makan dan minum.

b. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan.

c. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa-menyewa.

Sedangkan dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, mahkum fih dibagi dalam empat bentuk, yaitu:

a. Semata-mata hak allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali.

b. Hak hamba yang tetrkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak.

c. Kompromi antara hak allah dan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina).

d. Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tatapi hak hamba didalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishas.[6]

Adapun perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum dapat dibedakan menjadi lima kategori, hal tersebut diidentifikasi dari sebab akibat dalam perbuatan itu sendiri. Kelima kategori hukum tersebut adalah:[7]

a. Wajib

Perbuatan wajib, yaitu sesuatu perbuatan yang diberikan pahala bila dikerjakan, dan diberi siksa bila ditinggalkan.

Wajib dibagi seperti berikut:

  1. Dilihat dari tertentu atau tidaknya perbuatan yang diminta, wajib dapat dibagi dua:

a. Wajib mu’ayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatan seperti membaca surat fatihah dalam salat.

b. Wajib mukayyar, yaitu yang boleh dipilih salah satu dari beberapa macam yang telah ditentukan. Sebagaimana dalam kifarat sumpah ada 3 macam, yaitu memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian kepada 10 orang miskin atau membebaskan seorang budak. Disini boleh dipilih salah satu diantara ketiga macam hukum tersebut.

  1. Dilihat dari segi waktu mengerjakannya, wajib dibagi dua pula:

a. Wajib mudhayyaq: (yang disempitkan) atau mi’yar. Yakni waktu untuk melakukan puasa yang harus dikerjakan selama satu bulan itu.

b. Wajib muwassa’: (yang diluaskan waktunya) atau dzarf. Waktunya lebih banyak dari waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan kewajiban, seperti waktu salat lima waktu. Dalam kewajiban muwassa’, pekerjaan tersebut boleh dilakukan disembarang waktu dalam batas waktu yang telah ditentukan.

  1. Dilihat dari segi siapa yang memperbuatnya, wajib dibagi juga:

a. Wajib ‘aini: yaitu perbuatan yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang mukallaf, seperti salat lima waktu.

b. Wajib kifayah: yaitu perbuatan yang diwujudkan oleh salah seorang anggota masyarakat tanpa melihat siapa yang mengerjakannya. Apabila telah diperbuat, maka hilanglah tuntutan terhadap lainnya. Tetapi bila tak seorang pun yang melakukannya, maka semuanya berdosa, seperti mendirikan tempat peribadatan, rumah sakit, menyembahyangkan dan mengebumikan mayat.

4. Dilihat dari segi qadarnya (kwantitas), wajib dibagi dua:

a. Wajib muhaddad: yaitu kewajiban yang ditentukan syara’ batas qadarnya (jumlahnya), seperti salat fardhu, zakat, kifarat, harga pembelian dan nilai-nilai, kewajiban macam ini kalau tidak dikerjakan pada waktunya, maka menjadi tanggungan kita selamanya, sehingga kita menunaikannya.

b. Wajib ghairu muhaddad: yaitu kewajiban yang tidak ditentukan syara’ batas qadarnya, seperti membelanjakan harta di jalan Tuhan, memberikan makan orang yang sedang kelaparan dan sebagainya.

Adanya kewajiban-kewajiban tersebut adalah karena perintah syara’ tetapi tentang berapa jumlahnya tergantung kepada keadaan. Kewajiban yang semacam ini kalau tidak kita berikan secukupnya pada waktunya, maka tidak menjadi tanggungan atau hutang kita untuk memenuhi kekuranganya pada waktu berikutnya. Dalam waktu berikutnya ini kita sudah dihadapan dengan kewajiban yang lain.

b. Mandub

Perbuatan mandub (sunat) yaitu sesuatu perbuatan yang bila diperbuat mendapat pahala, tetapi bila ditinggalkan tidak dikenakan siksa. Mandub juga disebut sunat atau mustahab. Sunat dapat dibagi dua, yaitu:

a. Sunat ‘ain, ialah perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh setiap orang, seperti salat sunat ratibah (salat sunat yang dikerjakan sebelum atau sesudah salat lima waktu).

b. Sunat kifayah, ialah perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat, cukup oleh salah seorang golongan, seperti memberi salam, mendo’akan orang-orang bersin. Demikian pula korban apabila sudah dikerjakan oleh salah seorang keluarga suatu rumah, maka sudah mencukupi bagi anggota keluarga lainnya.

Selain pembagian tersebut di atas, ada pula pembagian lain yaitu:

a. Sunat mu’akkadah, ialah perbuatan yang telah dikerjakan Rasul, atau lebih banyak dikerjakan dari pada tidak seperti salat hari raya.

b. Sunat ghairu mu’akkadah, ialah segala rupa sunat yang tidak selalu dikerjakan oleh Rasulullah SAW.

c. Haram

Perbuatan haram, yaitu sesuatu perbuatan yang dilarang, bila ditinggalkan kan diberi pahala dan apabila diperbuat dikenakan siksa; seperti membunuh, mencuri, tidak memberi makan orang yang menjadi tanggungannya. Perbuatan ini juga dinamakan ma’siat dan perbuatan jahat (qabih). Larangan dibai dua:

a. Larangan karena perbuatan itu sendiri (muharram lizatihi), seperti dalam contoh-contoh tersebut di atas.

b. Larangan karena bertalian dengan perbuatan lain, seperti larangan jual beli itu sendiri tidak dilarang, akan tetapi karena dilakukan dalam waktu tersebut maka dilarang.

c. Makruh

Perbuatan makruh, yaitu suatu perbuatan yang terlarang, bila ditinggalkan akan diberi pahala dan apabila diperbuat tidak dikenakan siksa.

Makruh dibagi tiga:

a. Makruh tanzih: yaitu sesuatu perbuatan yang dirasakan meninggalkannya lebih baik daripada memperbuatnya.

b. Tarkul-awla: yaitu meninggalkan yang lebih utama, seperti meninggalkan salat Dhuha.

c. Makruh tahrim: yaitu sesuatu perbuatan yang dilarang tetapi dalilnya tidak pasti (qa’ti = yakin)

d. Mubah

Perbuatan mubah, ialah sesuatu perbuatan yang bila diperbuat tidak diberi pahala dan bila ditinggalkan tidak dikenakan siksa. Mubah dinamakan halal dan jaiz.

a. Yang dinyatakan syara’ boleh memilih, seperti kalau suka, boleh memperbuat, kalau tidak suka, boleh meninggalkannya.

b. Yang tidak ada dalilnya dari syara’ yang dinyatakan boleh memilih, tetapi syara’ menyatakan tidak ada halangan (dosa) untuk memperbuatnya.

c. Yang tidak ada keterangan sesuatu apa dari syara’. Hukumnya dikembalikan kepada baraah asliyyah, yakni tidak ada hukumnya.

C. Pengertian Mukallaf (mahkum Alaih)

Subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat dan segala tingkah lakunya diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah. Jelasnya mukallaf adalah orang-orang yang dibebani hukum.[8] Para ulama ilmu ushul mengatakan bahwa mahkum alaihi adalah mukallaf yang dituntut oleh hukum untuk suatu perbuatan. jadi mukallaf itu merupakan devinisi lain dari mahkum alaihi. Dalam paradigma hukum, mereka juga disebut subyek hukum. Adapun Mukallaf secara bahasa adalah berbentuk ism al-maf’ûl dari fi’il al-mâdli “kallafa” (كَلَّفَ), yang bermakna membebankan. Maka, kata mukallaf berarti orang yang dibebani hukum. Muhammad Abu zahrah mendefinisikan mahkum alaih dengan “orang mukallaf, karena dialah yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak, dantermasuk atau tidak dalam cakupan perintah dan larangan.[9]

Dalam ilmu ushul fiqh mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Semua yang berkaitan dengan seluruh aktivitas mukallaf memiliki implikasi hukum, dan karenanya harus dipertanggung jawabkan, baik di dunia maupun di akhirat.

Secara istilah, mukallaf adalah:“Seorang manusia yang mana perlakuannya itu bergantungan dengan ketentuan al-Syâri’ atau hukumnya”.[10]

Dari sini, dapat difahami bahwa mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggung-jawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Pahala akan didapatkan kalau ia melakukan perintah Allah SWT, dan dosa akan dipikulnya kalau ia meninggalkan perintah Allah SWT, begitu seterusnya sesuai dengan krateria hukum taklîfî yang sudah diterangkan.

Sebagian besar ulama Usul Fiqh mengatakan bahwa dasar adanya taklîf (pembebanan hukum) terhadap seorang mukallaf adalah akal (العقل) dan pemahaman (الفهم). Seorang mukallaf dapat dibebani hukum apabila ia telah berakal dan dapat memahami taklîf secara baik yang ditujukan kepadanya. Oleh karena itu, orang yang tidak atau belum berakal tidak dikenai taklîf karena mereka dianggap tidak dapat memahami taklîf dari al-Syâri’. Termasuk ke dalam kategori ini adalah orang yang sedang tidur, anak kecil, gila, mabuk, khilaf dan lupa. Pendapat ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW:

رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتي يستيقظ و عن الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يفيق )رواه البخاري وأبو داوود والترمذي والنسائ وابن ماجة والدارقطني)

Artinya:

“Diangkat pembebanan hukum dari tiga (orang); orang tidur sampai bangun, anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai sembuh”.[11]

رفع أمتي عن الخطأ والنسيان وما استكره له (رواه ابن ماجة والطبراني(”

Artinya:

“Beban hukum diangkat dari umatku apabila mereka khilaf, lupa dan terpaksa”.[12]

Dari sini, ulama Usul Fiqh memberi kesimpulan bahwa syarat seseorang itu dikenai taklîf atau masuk sebagai predikat mukallaf terdapat dua syarat:[13]

1. Orang tersebut harus mampu memahami dalil-dalil taklîf.

Ini dikarenakan taklîf itu adalah khitâb, sedangkan khitâb orang yang tidak memiliki akal dan tidak faham itu jelas tidak mungkin (محال). Kemampuan memahami itu hanya dengan akal, karena akal itu adalah alat untuk memahami dan menemukan ide (الإدراك). Hanya saja akal itu adalah sebuah perkara yang abstrak (الخفية). Maka al-Syâri’ sudah menentukan batas taklîf dengan perkara lain yang jelas dan berpatokan (منضبط) yaitu sifat baligh seseorang. Sifat baligh itu adalah tempat pemikiran akal yaitu mengetahui baik, buruk, manfaat, dan bahaya. Maka orang yang gila dan anak kecil tidak termasuk mukallaf karena tidak memiliki kemampuan akal yang mencukupi untuk memahami dalil taklîf. Begitu juga dengan orang yang lupa, tidur, dan mabuk seperti hadis yang di atas.

2. Seseorang telah mampu bertindak hukum/mempunyai kecakapan hukum (أهلية).

Secara istilahi, ahliyyah didefinisikan sebagai: “Kepatutan seseorang untuk memiliki beberapa hak dan melakukan beberapa transaksi”. Maka atas dasar ini para ulama membagi sifat ahliyyah menjadi dua jenis, yaitu: Ahliyyah Wujûb dan Ahliyyah Adâ`. [14]

Berdasarkan penjelsan di atsa dapat dipahami bahwa syara’ tidaklah sekali-kali bermaksud membebani manusia bila masih berada di luar batas kesanggupan untuk mengerjakan. Oleh karena itu segala hukum yang dibebani terhadap mukallaf dimaksudkan hanya bagi seseorang yang telah sempurna dalam pandangan hukum yakni baligh dan cerdas. Hal ini dimaksudkan adalah untuk terwujudnya kemuslihatan dan kebajikan bagi mukallaf sendiri baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana sabda nabi Muhammad Saw,

Artinya: “ tidak ditimpa seorang mukmin suatu keletihan, tidak pula sesuatu kepayahan, tidak sesuatu kegundahan dan tidak sestau kesedihan hingga duri yang menusuknya melainkan Allah menutupi dengan yang demikian itu sebagai dari kesalahan-kesalahan.” (HR. Bukhari, Muslim dan Al-Turmudzi).[15]

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa mukallaf baru mendapat pembebanan hukum jika ia telah mampu memahami dalil-dalil pembebanan atau dengan kata lain ia telah memiliki kemampuan untuk membedakan antara perintah untuk dikerjakan atau ditinggalkan. Selanjutnya mereka tidak dituntut melainkan telah memiliki kecakapan secara fisik untuk melakukan berdasarkan batas umur secara maklum.

Didasari pada kedua hal ini maka kecakapan mukallaf dalam melaksanakan segala tuntutan di nisbahkan kepada dua bentuk yaitu Ahliyyah Wujûb dan Ahliyyah al-`Ada’. Untuk penyelasan yang lebih rinci adalah sebagai berikut:

1. Ahliyyah Wujûb

Definisi Ahliyyah Wujûb adalah kepantasan menerima taklif,[16] yakni sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya tetapi belum cukup untuk dibebani seluruh kewajiban.

Kecakapan semacam ini menurut ulama Fiqh disebut “ذمة”, yaitu suatu sifat yang secara hukum menjadikan seseorang dapat bertindak dan menerima kewajiban tertentu. Untuk menentukannya adalah berdasarkan sifat kemanusiaannya (إنسانية) yang tidak dibatasi umur, baligh atau tidak, cerdas atau tidak. Semenjak seseorang dilahirkan dan hidup di dunia sampai meninggal dunia, ia telah memiliki sifat kecakapan ini. Kecakapan ini akan hilang apabila nyawanya hilang atau meninggal dunia.

Para ulama usul fiqh membagi Ahliyah al-Wujûb ini menjadi dua bagian:

a. Ahliyyah al-Wujûb al-Nâqishah (أهلية الوجوب الناقصة), yaitu: ketika seseorang masih berada di dalam kandungan ibunya. Janin dianggap memiliki Ahliyyah al-Wujûb yang belum sempurna karena hak-hak yang harus diterimanya belum dapat menjadi miliknya secara sempurna sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat. Terdapat empat macam hak seorang janin yang masih di dalam kandungan, yaitu:

· Hak keturunan ayahnya.

· Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia.

· Wasiat yang ditujukan kepadanya.

· Harta wakaf yang ditujukan kepadanya.

b. Ahliyyah al-Wujûb al-Kâmilah (أهلية الوجوب الكاملة), yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan berakal walaupun masih kurang sempurna. Pada periode ini, seseorang telah menerima kewajiban-kewajiban tertentu, seperti kewajiban untuk menjaga harta orang tuanya, kewajiban agama yang berkaitan dengan hartanya seperti zakat, dan kewajiban membayar ganti rugi yang diambil dari hartanya apabila ia telah merusakkan harta orang lain.

2. Ahliyyah al-`Adâ`

Ahliyyah al-`Adâ` adalah orang yang memiliki kecakapan atau kelayakan untuk melaksanakan hukum dengan kata lain adalah kepantasan manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum.[17] Hal ini berarti bahwa segala tindakan baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah memiliki akibat hukum. Kecakapan berbuat hukum terdiri dari tiga bagian:

1. Adim al-Ahliyah yaitu hal keadaan tidak cakap sama sekali, yakni manusia sejak lahir sampai mencapoai umur tamyiz

Manusia dalam batas umur ini belum dituntut untuk melaksanakan hukum. Oleh karena itu ia tidak wajib untuk melaksanakan shalat, puasa, dan lainnya. Disamping perbuatan anak-anak dalam umur ini tidak dikenakan hukum maka semua akibat pelanggaran yang merugikan orang lain ditanggung oleh orang tua

2. Ahliyyah al-`Ada` al-Naqishah (أهلية الأداء الناقصة) yaitu, kecakapan berbuat hukum secara lemah dan belum sempurna. Sedangkan taklif berlaku pada akal yang sempurna.

Manusia dalam batas umur ini maka sebahagian tindakannya dikenakan hukum dan sebahagian lagi tidak dikenakan hukum. Maka dalam hal ini setiap tindakan, perkataan dan perbuatan mempunyai akibat hukum antara lain:

a. Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya seperti menerima pemberian hibah dan wasiat, maka semua tindakan dalam hal ini dikatakan sah tanpa harus persetujuan wali

b. Tindakan yang semata-mata mengurangi hak yang ada padanya dengan pemberian yang dilakukan dalam bentuk hibah, sadaqah, pembebasan hutang jual beli atau sesuatu yang belum pantas, maka bentuk tindakan tersebut tidak sah

c. Tidakan yang mengandung keuntungan dan kerugian umpama jual beli, sewa menyewa, upah mengupah dan lainnya. Maka tindakan yang dilakukan dalam bentuk ini maka tidak batal secara mutlak.[18]

Tindakan mumayyiz dalam hubungannya dengan ibadah adalah sah karena ia cakap dalam melakukan ibadah, tetapi ia belum dituntut secara pasti karena ia belum dewasa. Maka dalam masa ini orang tua harus mendidik dan membiasakan dalam ibadah.

3. Ahliyyah al-`Adâ` al-Kâmilah (أهلية الأداء الكاملة) yaitu, kecakapan berbuat hukum secara sempurna. Yakni manusia yang telah mencapai usia dewasa. Yang memungkinkan untuk melaksanakan segala pembebanan hukum karena ia sudah mampu membedakan antara yang baik dengan yang buruk.

Usia dewasa ditentukan berdasarkan tanda-tanda jasmaniah, pembatasan berdasarkan hal ini didasari pada petunjuk al-Qur’an yaitu sampai batas usia perkawinan atau dengan batas umur tertentu yang telah memungkinkan melakukan perkawinan.

Pada periode ini seluruh tindakan atau perbuatan hukum seseorang harus dipertanggung jawabkan, baik melaksakan tuntutan Syari’ maupun meninggalkan tuntutan-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Transaksi-transaksi yang dilakukannya juga mengikat secara sempurna. Perpindahan seseorang dari periode sebelumnya menuju periode ini ditandai secara fisik, bagi laki-laki apabila telah mimpi basah dan bagi wanita apabila telah haid.

D. Hal-Hal Yang Mempengaruhi Kecakapan Berbuat Hukum

Kecakapan berbuat hukum tidak berlakuk untuk semua manusia. Kecakapan ini dibatasi oleh syarat-syarat tertentu maka dalam hal ini adalah baligh dan berakal. Bila seseorang sudah mencapai umur dewasa yang menurut kebiasaan diiringi dengan kemampuan akal, maka ia dinyatakan cakap untuk melaksanakan hukum.

Sesuatu yang berpengaruh terhadap kecakapan untuk berbuat disebabkan oleh halangan yang timbul dari luar diri sementara ia tidak mempunyai daya maupun kehendak menghadapinya. Halangan ini disebut dengan awaridh ahliyah dan halangan yang timbul dari dirinya sendiri yang disebabkan oleh kehendaknya sendiri, halangan ini disebut dengan awaridh muktasabah atau awarid ikhtiyari.[19]

Adapun penghalang yang dapat menghilangkan, mengurangi, atau merubah hukum-hukum ahliyyah (أهلية). Penghalang ini dibagi menjadi dua:

1. ‘Awâridl Samâwiyyah (عوارض سماوية) yaitu, halangan kecakapan yang datangnya dari Allah, seperti gila, idiot, lupa, pingsan, dungu, sakit keras yang berakibat kematian, dan lupa.

2. ‘Awâridl Muktasabah (عوارض مكتسبة) yaitu, halangan kecakapan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, khilaf, bodoh, dalam perjalanan dalam keasaan sakit dan berada di bawah pengampuan.

Sedangkan dilihat dari segi obyeknya, maka halangan kecakapan dapat dibedakan menjadi tiga bentuk:

1. Halangan kecakapan yang mengakibatkan kecakapan berbuat hukum secara sempurna (أهلية الأداء) akan hilang sama sekali, seperti gila, tidur, lupa, dan terpaksa.

2. Halangan kecakapan yang dapat mengurangi kecakapan berbuat hukum secara sempurna (أهلية الأداء), seperti dungu.

3. Halangan kecakapan yang dapat mengubah sebagian kecakapan berbuat hukum secara sempurna (أهلية الأداء), seperti orang yang berhutang, pailit, di bawah pengampuan, khilaf, dan tolol.

E. Batasan-Batasan Baligh

Dalam menentukan umur ini terjadi perbedaan pandangan dari ulama sendiri. Menurut jumhur ulama umur dewasa itu adalah lima belas tahun bagi laki-laki dan perempuan. Menurut abu hanifah umur dewasa bagi anak laki-laki adalah 18 tahun sedangkan bagi perempuan adalah 17 tahun. Maka bila seseorang belum mencapai umur tersebut maka belum berlaku beban hukum.

Berkenaan dengan perolehan harta berdasarkan batasan umur yang ditentukan itu maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat dalam memahami firman Allah surat an-nisa ayat : 6. “segolongan ulama di kalangan Imam asy-syafi’i mengatakan bahwa menyerahkan harta kepada orang yang sudah baligh hanya dapat dilakukan setelah mencapai tingkat cerdas, maka tidak diberikan meskipun telah lanjut usia”.

Golongan ke dua dari kalangan Imam Abu Hanifah bahwa “harta baru dapat diserahkan hanya kepada orang dewasa yakni setelah mencapai usia 25 tahun meskipun belum memiliki tanda-tanda kecerdasan”. Atas pandangan ini beliau berargumen bahwa ayat tersebut di atas disebutkan dalam bentuk nakirah (umum). Jadi bila syarat tersebut telah ada secara nyata dalam satu bentuk maka wajiblah berlaku apa yang disyaratkan. Hal ini dikuatkan lagi oleh pengikutnya degan berargumen bila seseorang telah sampai usia dewasa dan telah diperhitungkan secara hukum mengenai iman dan kafirnya, maka telah sampai untuk melakukan ikhtiarnya sendiri sehingga dengan batas umur 25 tahun menjadi usia matang dalam mengelola harta.

a. menurut mayoritas/ jumhur ulama anak telah bermimpi sehingga mengeluarkan air mani احتلام, baik bagi laki-laki atau perempuan, (2) datangnya haid bagi anak perempuan, (3) usia anak telah genap mencapai umur 15 tahun.[20]

b. Imam Abu Hanifah memberikan batasan usia baligh minimal yaitu bagi laki-laki berumur serendah rendahnya 12 tahun ( kriteria baligh bagi laki-laki yaitu ihtilam (mimpi keluar mani dalam keadaan tidur atau terjaga), keluarnya air mani karena bersetubuh atau tidak, usia minimal 12 tahun dan atau menghamili ) dan bagi perempuan berumur usia 9 tahun ( usia wanita yang biasanya wanita sudah haid ).[21]

c. Menurut Imam Malik, batasan umur baligh bagi laki-laki dan perempuan adalah sama yaitu genap 18 tahun atau genap 17 tahun memasuki usia 18 tahun. Tiga batasan baligh ini menggunakan prinsip mana yang dahulu dicapai atau dipenuhi oleh si anak. ( al Qurtubi dan al Dardiri ) lebih terinci lagi Madzhab Malikiyyah memberikan kriteria baligh ada 7 macam. Yang 5 yaitu bagi laki-laki dan perempuan, sedangkan yang 2 macam khusus bagi perempuan. [22]

Kriteria baligh khusus bagi perempuan adalah (1) haid, dan (2) hamil. Sedangkan kriteria baligh yang berlaku bagi laki-laki dan perempuan adalah (1) keluar air mani baik keadaan tidur atau terjaga, (2) tumbuhnya rambut di sekitar kemaluan (3) tumbuhnya rambut di ketiak, (4) indra penciuman hidung menjadi peka, dan (5) perubahan pita suara. Apabila karena sesuatu hal sehingga kriteria baligh tersebut tidak muncul maka batasan usia yang dipakai adalah umur genap 18 tahun atau usia genap 17 tahun memasuki usia 18 tahun.[23]


Batasan Umur Mu’amalah

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãŠø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u Ÿwur ó§yö7tƒ çm÷ZÏB $\«øx© 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gŠÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& Ÿw ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky­ `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4 .......

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[24] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. (QS. Al-Baqarah : 282)[25]

Ÿwur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# Ÿ@yèy_ ª!$# ö/ä3s9 $VJ»uŠÏ% öNèdqè%ãö$#ur $pkŽÏù öNèdqÝ¡ø.$#ur (#qä9qè%ur öNçlm; Zwöqs% $]ùrâ÷ê¨B ÇÎÈ

Artinya:

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.[26]

Imam asy-syafi’i mengatakan janganlah kalian menyerahkan harta kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, hendaklah kalian tidak membiarkan mereka menguasai harta yang dikuasakan kepada kalia, jadilah kalian sebagai pengawas yang selalu memantau mereka.[27] Demikianlah Allah telah memerintahkan agar harta mereka diserahkan kepada mereka apabila mereka telah baligh dan cerdas. Apabila Allah memerintahkan agar harta anak yatim diserahkan kepada mereka saat kedua syarat baligh itu telah terpenuhi pada diri mereka, maka dalam hal itu terdapat pengertian jika pada diri mereka baru terdapat salah satu dari keduanya maka belum layak untuk diserahkan kepada mereka, maka demikianlah larangan untuk membelanjakan harta mereka. Sama halnya jika mereka sudah memperoleh kecerdasan sebelum baligh maka harta mereka belum layak untuk diserahkan kepada mereka.[28] (QS. An-Nisa’ : 5)

Meskipun demikian namun tidak semata-mata menjadikan kecerdasan mereka sebagai tolak ukur bahwa harta mereka harus diserahkan kepada mereka melainkan setelah mereka mencapai umur baligh. Dengan demikian dia menunjukkan bahwa kewajiban bekerja hanya dibebankan kepada orang-orng yang sudah baligh saja, as-sunnah juga mengisyaratkan hal yang sama kemudian aku tidak mengetahui adanya perbedaan mengenai hal ini.[29]

Dalam kesempatan yang lain disebutkan dalam kitab al-umm pada bab Karra’ al-ardh al-baidha’ bahwa “ Imam asy-syafi’i mengatakan berdasarkan landasan ayat:

(÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷Š$$sù öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& ( $Y7ŠÅ¡ym ÇÏÈ

Artinya : “Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”.

Demikian dasar awal bagi semua kewajiban yang diwajibkan Allah. dia menjadikan penyerahan itu sebagai pengembalian bukan semata-mata hanya ada namun tidak diserahkan”[30] kemudian apabila harta tersebut diserahkan hendaklah dihadirkan saksi-saksi, karena wali dari anak yatim adalah pelaksana wasiat dari ayahnya atau seseorang yang ditunjuk oleh penguasa untuk melaksanakan wasiat tersebut.

Batasan Umur Dalam Munakahat

Kecukupan usia untuk menikah adalah genap lima belas tahun, namun dapat juga dilaksanakan kurang dari itu dengan demikian siapa saja yang usiannya sudah cukup untuk menikah baik karena usianya sudah mencapai lima belas tahun maupun belum, maka semua kewajiban berlaku bagi dirinya, begitu pula hukumna hadd.siapa saja yang terlambat mencapai usia cukup untuk menikah, maka usia lima belas tahunlah yang mewajibkan berlakunya hukuman hadd dan lain-lain bagi dirinya.[31]

(#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷Š$$sù öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& ( ÇÏÈ

Artinya :

Dan ujilah[32] anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (QS. An-Nisa’ : 6)

Berdasarkan keterangan sejarah bahwa abu bakar menikahkan aisyah kepada nabi sewaktu usianya masih enam tahun, kemudian nabi baru mencampurinya ketika nabi berusia sembilan tahun semua itu menunjukkan bahwa ayah lebih berhak untuk menikahkan anak gadisnya sendiri. Seandainya anak gadis lebih berhak untuk melakukan hal itu dari pada ayahnya maka lebih tepat jika sang ayat tidak menikahkan sebelum mencapai usia baligh.[33]

Keadaan dimana seorang laki-laki dan perempuan sampai pada tingkat kecerdasan sehingga mereka dapat memegang harta mereka sendiri. Dengan demikian ayat ini menunjukkan bahwa larangan membelanjakan harta tetap berlaku bagi anak-anak yatim sampai terhimpun pada diri mereka dua criteria yakni “baligh”[34] dan “cerdas”[35]. Dalam hal itu tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan hanya saja laki-laki ditandai dengan mimipi basah dan perempuan ditandai dengan haid. Jika kedua hal itu telah mereka alami sebelum mengijak usia 15 tahun maka saat itu mereka sudah dianggap baligh.[36]

Berdasarkan beberapa pandangan ulama dalam menentukan batas baligh maka pertanggungjawaban dalam hukum Islam untuk berbuat dan memikul kewajiban menggunakan beberapa kriteria yaitu `aqil, baligh, mumayyiz, fahmul mukallaf dan ikhtiyar. Sedangkan untuk menerima hak seseorang hanya disyaratkan masih mempunyai nyawa, berlaku sejak berwujud janin di dalam rahim dengan mempertimbangkan kemanfaatan, kemaslahatan, dan keadilan. Penilaian terhadap kriteria tersebut menggunakan ciri-ciri fisik dan biologis seseorang.


  1. Kesimpulan

Perbuatan hukum disebut juga dengan Mahkum fih yaitu perbuatan mulakkaf yang berhubungan dengan hukum. Dapat didefiniikan adalah pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan mukallaf yang memiliki implikasi hukum atau mempunyai akibat-akibat hukum. Dalam pembebanan ini memiliki beberapa syarat taklif antaranya:

1. mukallaf sanggup mengerjakan sesuatu yang dibebankan dan tidak mustahil untuk dilakukan, ada kalanya mustahil menurut adat yang mingkin saja terwujud atau mustahil disebabkan karena hal lain

2. pekerjaan yang sukar dilaksanakan bisa saja dalam arti memberatkan mukallaf untuk dilaksanakan atau kesukaran yang tidak sangat memberatkan

Mukallaf atau Subjek hukum ialah orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat dan segala tingkah lakunya diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah. Jelasnya mukallaf adalah orang-orang yang dibebani hukum. Dilihat dari segi tuntutan maka tingkat kepantasan dalam menerima pembebanan hokum yakni sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya tetapi belum cukup untuk dibebani seluruh kewajiban dan kecakapan atau kelayakan untuk melaksanakan hukum dengan kata lain adalah kepantasan manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hokum.

Dilihat dari segi umur atau baligh dalam pandangan syara’ maka para ulama memiliki perbedaan pendapat berdasarkan aspek-aspek syariat. Satu sama lain memiliki perbedaaan pemahaman sesuai dengan isyarah yang dapat dijelaskan berdasarkan ungkapan yang terdapat dalam al-qur’an. Dalam padangan penulis bahwa yang dapat membedakan mukallaf baligh tidak hanya diukur pada jumlah umur tertentu namun yang dapat menentukannya adalah pada akal yang mempu membedakan antara tuntutan mengerjakan atau meninggalkan berdasarkan maksud yang dikehendaki syara’


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubhi, al Jami` li Ahkam al Qur`an, Jilid V, Beirut: Daar al Fikr, t.thn.,

Al Dardiri, al Syarh al Kabir Hasiyah Dasuki, Jilid III, Mesir: Al Babi al Halabi, t.thn.,

Al Imam Jalaluddin al Mahaly dan Jalaluddin as Suyuthi, Tafsir al Qur`an al Karim, Juz I, Beirut: Daar al Fikr, 1998, halaman 98 dan Wahbah al Zuhayli,Ushul Fiqh al Islamy

Al-Hafidh, Fathul Bari, Syarah Hadist Bukhari, Muslim dan Turmizi

Al-umm Jilid IV, hl. 19 tahqiq, Dr. Abdul Muthalib, jilid V

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2000)

Fully Handayani, Pengertian pokok dalam system hukum

Ibn Abidin, Hasyiyah Rad al Mukhtar `ala Dur al Mukhtar, Jilid V, Mesir: Al Babi al Halabi,nt.thn.

Khadim al-Haramain asy-Syarifain ; Al-Qur’an Dan Terjemahannya, edisi refisi, 2001.

KItab Al-ahkam Alqur’an, Jilid I, Hlm. 138, Al-Azhari, az-zahir fi gharib alfazh asy-syafi’I,

KItab Al-ahkam Alqur’an, VII, tahqiq, Dr. Abdul Muthalib, jilid VIII, 186

Muhammad Hasbi Ash Siddiqy, Filsafat Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001)

Sutrisno, Ushul Fiqh, (Jember: STAIN Press, 1999)

Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung: Pustaka Setia, 2007)

Syaikh ahmad bin Mustafa al-farran, Menyelami kedalaman kandungan al-qur’an Tafsir Imam Asy-Syafi’i Jilid II, (Jakarta : Almahira, 2008)

Syifa’al iyyi bi tahqiq musnad al imam asy-syafi’i, jilid II

Tafsir asy-syafi’I, hlm. 21, al-azhari, az-zahir fi gharib alfazh asy-syafi’i



[1] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hokum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 195

[2] Muhammad Hasbi Ash Siddiqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 486

[3] Fully Handayani, Pengertian pokok dalam system hukum

[4] Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 320

[5] Sutrisno, Ushul Fiqh, (Jember: STAIN Press, 1999), hlm. 121-123

[6] Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 331

[7] Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah,

[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2000), hlm. 356

[9] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2000), hlm. 356

[10] Muhammad Hasbi Ash Siddiqy, Filsafat Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 203

[11] Amir Syarifuddin, Ushul…, hlm. 357

[12] Amir Syarifuddin, Ushul…, hlm. 358

[13] Amir Syarifuddin, Ushul…, hlm. 356-357

[14] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah…, hlm. 207

[15] Al-Hafidh, Fathul Bari, Syarah Hadist Bukhari, Muslim dan Turmizi

[16] Amir Syarifuddin, Ushul…, hlm…, 357

[17] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah…hlm. 211

[18] Amir Syarifuddin, Ushul…, hlm. 359-360

[19] Amir Syarifuddin, Ushul…, hlm. 365

[20] Al Imam Jalaluddin al Mahaly dan Jalaluddin as Suyuthi, Tafsir al Qur`an al Karim, Juz I, Beirut: Daar al Fikr, 1998, halaman 98 dan Wahbah al Zuhayli,Ushul Fiqh al Islamy ., halaman 121

[21] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubhi, al Jami` li Ahkam al Qur`an, Jilid V, Beirut: Daar al Fikr, t.thn., halaman 37,

[22] Al Dardiri, al Syarh al Kabir Hasiyah Dasuki, Jilid III, Mesir: Al Babi al Halabi, t.thn., halaman 393 ,

[23] Ibn Abidin, Hasyiyah Rad al Mukhtar `ala Dur al Mukhtar, Jilid V, Mesir: Al Babi al Halabi,nt.thn., halaman 107

[24] Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.

[25] Khadim al-Haramain asy-Syarifain ; Al-Qur’an Dan Terjemahannya, edisi refisi, 2001. (QS. Adz Dzariyat : 56)

[26] Khadim al-Haramain asy-Syarifain ; Al-Qur’an Dan Terjemahannya, edisi refisi, 2001. (QS. Adz Dzariyat : 56)

[27] Syaikh ahmad bin Mustafa al-farran, Menyelami kedalaman kandungan al-qur’an Tafsir Imam Asy-Syafi’i Jilid II, (Jakarta : Almahira, 2008), hlm. 17

[28] KItab Al-ahkam Alqur’an, Jilid I, Hlm. 138, Al-Azhari, az-zahir fi gharib alfazh asy-syafi’I, hlm. 327

[29] Syaikh ahmad bin Mustafa al-farran, Menyelami…, 18

[30] Al-umm Jilid IV, hl. 19 tahqiq, Dr. Abdul Muthalib, jilid V, 32-33

[31] KItab Al-ahkam Alqur’an, VII, tahqiq, Dr. Abdul Muthalib, jilid VIII, 186

[32] Yakni: mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan, usaha-usaha mereka, kelakuan dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercayai. (menghadirkan saksi) atas dasar ini ulama syafi’iyah mensyaratkan melafazkan takliq-talak pada resepsi pernikahan

[33] Syifa’al iyyi bi tahqiq musnad al imam asy-syafi’i, jilid II, hlm. 18

[34] Baligh Artinya denap menginjak usia lima belas tahun, sama saja antara laki-laki dan perempuan.

[35] Kelayakan dalam beragama sehingga syahadat diperbolehkan, jika kemampuan mengelola harta dengan baik, hal tersebut hanya dapat di uji dengan ujian. KItab Al-ahkam Alqur’an, Jilid I, Hlm. 327

[36] Tafsir asy-syafi’I, hlm. 21, al-azhari, az-zahir fi gharib alfazh asy-syafi’I, hlm. 327

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama